"Karena cinta pertama seorang anak perempuan adalah ayahnya, dan jika cinta itu patah… seluruh dunianya ikut runtuh." Tidak semua rumah yang utuh dari luar, benar-benar utuh di dalam. Buku ini adalah memoar fiksi yang dituturkan dari sudut pandang anak perempuan kedua dari tiga bersaudara. Ia tumbuh dengan rasa kagum pada sosok ayah—cinta pertamanya, panutannya. Namun, segalanya berubah ketika rumah tempat ia merasa aman, perlahan retak. Ayahnya berselingkuh. Ibunya berubah menjadi sosok yang keras dan penuh kemarahan. Dan ia, dikirim jauh dari rumah, bukan karena salah, tapi karena dianggap tak cukup penting untuk dipertahankan. Dalam pengorbanan tanpa jeda, dalam cinta yang tak pernah cukup, ia tumbuh menjadi perempuan yang kuat—namun terluka. Ia menikah, lalu bercerai. Ia mencoba lagi, dan gagal lagi. Sampai akhirnya ia sadar: selama ini, ia hanya mengulang luka yang diwariskan oleh cinta pertamanya—ayahnya sendiri. Lewat tulisan yang jujur, puitis, dan emosional, buku ini bukan sekadar cerita tentang rumah tangga yang gagal, tapi tentang keberanian untuk berhenti menyalahkan, mulai memahami, dan menyembuhkan. Sebuah panggilan jiwa, untuk para ayah agar hadir bukan hanya sebagai kepala keluarga, tetapi sebagai rumah yang tidak meruntuhkan.